Masih Ingatkah Anda Tentang Bus Tingkat Yg Ada Di Jakarta
Bis Ini Adalah Jurusan : Kota - Blok M Dan Senen - Blok M (PuloGadung)
Keanehan dan keunikan bentuknya bukan membuat orang terkesima. Jalannya yang pelan tidak lantas membuatnya ditinggalkan dan dilupakan begitu saja. Justru bentuknya yang menyerupai kue lapis ini punya penggemar sendiri. Ternyata keberadaan bis tingkat mampu memberikan nilai lebih bagi kota Solo.”. Bagaimana romantikanya? Berikut liputan reporter Pabelan Pos.
Menilik sejarahnya, bis tingkat pertama masuk ke kota Solo pada tahun 1983. Pada masa pemerintahan Soeharto Solo diupayakan bisa seperti Jakarta. Atas inisiatif Tien Suharto (alm), didatangkanlah bis tingkat ke Solo selain di Jakarta sendiripun ada. Empat tahun kemudian jumlah bis tingkat menjadi 30 buah.
Karena masih minimnya angkutan umum di kota Bengawan waktu itu, keberadaan bis tingkat mampu menyedot penumpang. Namun, akibat tragedi krisis ekonomi di Indonesia, kuantitas bis tingkat di Solo mengecil menjadi hanya 6 buah.
Setelah bis tingkat di Jakarta ditarik dari peredara maka saat ini hanya di kota Sololah bis tingkat bisa dijumpai.
Humas Perum Bis Kota Surakarta Joko mengatakan, biaya perawatan bis tingkat terbilang mahal. “Apalagi kondisi krisis dan akibat kerusuhan pada Mei 1998 kemarin turut mempengaruhi. Padahal semua komponen harus didatangkan dari luar negeri. Mau tidak mau biaya perawatanpun membengkak,” ujarnya.
Pihak Perum Damri juga memberikan fasilitas abonemen. Dengan karcis ini biaya yang dibayarkan lebih rendah dibanding bila membayar secara langsung.
Abonemen yang hanya dikhususkan untuk penumpang mahasiswa dan pelajar bisa digunakan untuk dua kali dalam sehari..Dengan masa berlaku satu bulan sesuai tanggal, abonemen ternyata diminati. Terbukti banyak sekali mahasiswa dan pelajar yang menggunakan fasilitas ini.
Sebenarnya time table (jarak tempuh) bis tingkat dengan bis umum lain sama. Namun bentuknya yang besar membuat kelihatan berjalan lambat. Dari rute yang ditempuh bis tingkat (Palur-Kartasura) perlu waktu kurang lebih satu jam. Itupun kalau lalu lintas tidak ramai. Akan sangat berbeda kalau jalan sibuk, maka tak pelak lagi gerak “raksasa tumpuk” ini semakin lambat.
Seperti kata Sularso salah satu kondektur bis tingkat, bis tingkat memang berkurang penumpangnya. “Memang tidak bisa dipastikan bis tingkat itu selalu penuh penumpang, walau hari Minggu sekalipun,” begitu komentarnya.
Dian salah seorang mahasiswa UNS, jarang sekali naik bis ini saat berangkat ke kampus atau untuk urusan mendadak. “Kapan sampainya kalau jalannya kayak keong,” begitu alasannya.
Tapi kalau sedang stress atau tidak enak pikiran, diakuinya naik bis tingkat apalagi di atas mampu memberikan kesan santai, rasa nyaman dan tenang.
Memilih untuk duduk di atas memang lain. Keadaan sekeliling ditambah sesekali ada suara gesekan yang khas akibat berbenturan dengan pohon-pohon sekitar jalan bisa dinikmati. Bila diamati para pemuda lebih suka duduk di atas daripada di bawah. Bahkan sang kondekturpun memilih untuk mengalah kendati peringatan sudah dilakukan.
Imej tentang bis tingkat dan segala kenyamanannya telah sampai pula di telinga anak-anak. Terbukti dengan banyaknya anak-anak yang meminta orang tuanya untuk mengantar mereka menaiki bis tingkat. Narni ibu muda asal Bekonang, rela menemani putranya yang baru empat tahun untuk naik bis tingkat meski posisi rumahnya jauh dari rute bis tingkat.
Sedang Anton seorang pelajar SMU swasta di Solo mengaku, naik bis tingkat hanya untuk refreshing, senang-senang dan jalan-jalan.
Disadari atau tidak bis tingkat telah menjadi fenomena unik kota Solo, khususnya masyarakat di luar Solo. Bahkan ada opini yang beredar, belum lengkap rasanya kalau ke kota Solo tanpa menaiki bis tingkat. Terlepas benar atau tidak, keberadaan bis tingkat telah memberikan kebanggaan khusus bagi masyarakat Solo.
Keanehan dan keunikan bentuknya bukan membuat orang terkesima. Jalannya yang pelan tidak lantas membuatnya ditinggalkan dan dilupakan begitu saja. Justru bentuknya yang menyerupai kue lapis ini punya penggemar sendiri. Ternyata keberadaan bis tingkat mampu memberikan nilai lebih bagi kota Solo.”. Bagaimana romantikanya? Berikut liputan reporter Pabelan Pos.
Menilik sejarahnya, bis tingkat pertama masuk ke kota Solo pada tahun 1983. Pada masa pemerintahan Soeharto Solo diupayakan bisa seperti Jakarta. Atas inisiatif Tien Suharto (alm), didatangkanlah bis tingkat ke Solo selain di Jakarta sendiripun ada. Empat tahun kemudian jumlah bis tingkat menjadi 30 buah.
Karena masih minimnya angkutan umum di kota Bengawan waktu itu, keberadaan bis tingkat mampu menyedot penumpang. Namun, akibat tragedi krisis ekonomi di Indonesia, kuantitas bis tingkat di Solo mengecil menjadi hanya 6 buah.
Setelah bis tingkat di Jakarta ditarik dari peredara maka saat ini hanya di kota Sololah bis tingkat bisa dijumpai.
Humas Perum Bis Kota Surakarta Joko mengatakan, biaya perawatan bis tingkat terbilang mahal. “Apalagi kondisi krisis dan akibat kerusuhan pada Mei 1998 kemarin turut mempengaruhi. Padahal semua komponen harus didatangkan dari luar negeri. Mau tidak mau biaya perawatanpun membengkak,” ujarnya.
Pihak Perum Damri juga memberikan fasilitas abonemen. Dengan karcis ini biaya yang dibayarkan lebih rendah dibanding bila membayar secara langsung.
Abonemen yang hanya dikhususkan untuk penumpang mahasiswa dan pelajar bisa digunakan untuk dua kali dalam sehari..Dengan masa berlaku satu bulan sesuai tanggal, abonemen ternyata diminati. Terbukti banyak sekali mahasiswa dan pelajar yang menggunakan fasilitas ini.
Sebenarnya time table (jarak tempuh) bis tingkat dengan bis umum lain sama. Namun bentuknya yang besar membuat kelihatan berjalan lambat. Dari rute yang ditempuh bis tingkat (Palur-Kartasura) perlu waktu kurang lebih satu jam. Itupun kalau lalu lintas tidak ramai. Akan sangat berbeda kalau jalan sibuk, maka tak pelak lagi gerak “raksasa tumpuk” ini semakin lambat.
Seperti kata Sularso salah satu kondektur bis tingkat, bis tingkat memang berkurang penumpangnya. “Memang tidak bisa dipastikan bis tingkat itu selalu penuh penumpang, walau hari Minggu sekalipun,” begitu komentarnya.
Dian salah seorang mahasiswa UNS, jarang sekali naik bis ini saat berangkat ke kampus atau untuk urusan mendadak. “Kapan sampainya kalau jalannya kayak keong,” begitu alasannya.
Tapi kalau sedang stress atau tidak enak pikiran, diakuinya naik bis tingkat apalagi di atas mampu memberikan kesan santai, rasa nyaman dan tenang.
Memilih untuk duduk di atas memang lain. Keadaan sekeliling ditambah sesekali ada suara gesekan yang khas akibat berbenturan dengan pohon-pohon sekitar jalan bisa dinikmati. Bila diamati para pemuda lebih suka duduk di atas daripada di bawah. Bahkan sang kondekturpun memilih untuk mengalah kendati peringatan sudah dilakukan.
Imej tentang bis tingkat dan segala kenyamanannya telah sampai pula di telinga anak-anak. Terbukti dengan banyaknya anak-anak yang meminta orang tuanya untuk mengantar mereka menaiki bis tingkat. Narni ibu muda asal Bekonang, rela menemani putranya yang baru empat tahun untuk naik bis tingkat meski posisi rumahnya jauh dari rute bis tingkat.
Sedang Anton seorang pelajar SMU swasta di Solo mengaku, naik bis tingkat hanya untuk refreshing, senang-senang dan jalan-jalan.
Disadari atau tidak bis tingkat telah menjadi fenomena unik kota Solo, khususnya masyarakat di luar Solo. Bahkan ada opini yang beredar, belum lengkap rasanya kalau ke kota Solo tanpa menaiki bis tingkat. Terlepas benar atau tidak, keberadaan bis tingkat telah memberikan kebanggaan khusus bagi masyarakat Solo.
No comments:
Post a Comment