Selasa, 03 April 2012
oleh: Henri Shalahuddin, MIRKH
RANCANGAN Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) masih jauh dari harapan umat beragama, khususnya kaum muslimin. Sehingga diperlukan perombakan mendasar dan total sekiranya hendak disyahkan menjadi undang-undang yang mengikat secara normatif.
Merujuk pada draf RUU KKG yang disusun oleh Timja pada 24 Agustus 2011, ternyata hal-hal yang dibahas dalam Ketentuan Umum Bab I pasal 1 sangat bermasalah. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi juga memberi beberapa kritik mendasar terhadap RUU ini. Utamanya terkait dengan istilah “Kesetaraan Gender”. Sebagai gantinya beliau melontarkan istilah “Keserasian Gender” sebuah gagasan cerdas untuk menjembatani gap antara karakter dasar dan peran sosial yang terlahir dari pendefinisian Timja RUU ini.
Secara umum, definisi yang diberikan untuk istilah-istilah seperti “gender”, “kesetaraan gender”, “keadilan gender”, “diskriminasi”, “pengarusutamaan gender”, “analisis gender”, dan “anggaran responsif gender” cenderung memarjinalkan nilai-nilai agama, memisahkan aspek biologis dan peran sosial, serta sarat dengan muatan feminisme Barat yang sekular dan seksis.
Berikut adalah sekilas contoh beberapa definisi yang bermasalah dalam ketentuan umum:
Pertama. “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya”.
Kritik: a) Definisi di atas terlalu memisahkan aspek biologis dan sosial, padahal konstruk sosial dipengaruhi oleh aspek-aspek biologis. b) Definisi ini berarti membakukan teori gender yang tidak tunggal dan menghilangkan sifat dasar gender yang lentur dan tidak tetap seperti disebut dalam definisi. c) Kalimat “…dapat dipertukarkan menurut waktu..dst” berarti perempuan bisa mengambil seluruh peran laki-laki, dan laki-laki dapat mengambil seluruh peran perempuan. Hal ini akan sangat bertentangan dengan realitas sosial dan ajaran-ajaran agama dan budaya yang ada. Nilai-nilai feminisme konservatif memandang bahwa feminine dipandang simbol kelemahan dan ketergantungan. Untuk menghapus imej ini dalam diri perempuan, peran masculine dalam ranah publik maupun domestik perlu direbut. Sebab bagi kaum feminis tidak ada alasan biologis yang mengharuskan perempuan menjadi lembut dan laki-laki harus tegas.
Saran alternatif: Gender bisa didefinisikan sebagai perbedaan dan pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil dari perbedaan biologis yang sifatnya tetap dan pembedaan konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari. (RUU KKG, Bab I, pasal 1)
Kedua. “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan”. (RUU KKG, Bab I, pasal 1)
Kritik: a) Arti kesetaraan di sini bermasalah. Sebab (i) kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh aspek biologis tidak dapat disetarakan. (ii) kesetaraan di semua bidang kehidupan adalah mustahil. (iii) kesetaraan berbeda dengan “kesamaan”. Kesetaraan 50-50 tidak bisa dicapai oleh negara manapun. (iv) Semua agama membeda-bedakan posisi perempuan dan laki-laki, baik dari aspek biologis, maupun sosial.
Saran alternatif: Keserasian Gender adalah pembagian peran antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan tanpa meninggalkan kodrat dan identitas jenis kelaminnya, sesuai dengan budaya, agama dan keyakinan masyarakat.
Ketiga. “Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara”. (RUU KKG, Bab I, pasal 1)
Kritik: a) Keadilan tidak selalu harus berarti “persamaan”. Jika keadilan selalu diartikan persamaan, maka segala bentuk “ketidaksamaan” bisa disebut tidak adil dan diskriminatif. b) Keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya atau pada proporsinya.
Saran alternatif: Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya pemenuhan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki baik sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat maupun warga negara menurut agama yang diyakininya tanpa meninggalkan kodrat dan identitas jenis kelaminnya, sesuai dengan budaya, agama dan keyakinan masyarakat.
Keempat. “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki”. (RUU KKG, Bab I, pasal 1)
Kritik: a) Definisi diskriminasi ini hanya mengkopi CEDAW part I article I yang tidak sesuai dengan budaya agama dan keyakinan bangsa Indonesia. b) akan berimplikasi membuka perlindungan terhadap segala bentuk kebebasan yang dikehendaki perempuan dan mengesampingkan batasan-batasan agama, keluarga dan ikatan perkawinan.
Usulan alternatif: Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu yang tidak berdasarkan agama, budaya dan keyakinan masyarakat.
Kelima. “Pengarusutamaan Gender: Suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan”. (RUU KKG, Bab I, pasal 1)
Kritik: a) PUG akan menjadi justifikasi legal yuridis yang mendasari kegiatan pembangunan berbasis seksis, yakni segala hal yang terkait dengan pembangunan harus tunduk pada ideologi jenis kelamin.
Usulan alternatif: PUG adalah suatu strategi yang dibangun untuk mengembangkan keserasian gender dalam setiap kegiatan pembangunan yang dikontrol dan dievaluasi bersama antara tokoh agama, masyarakat, dan pemerintah dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai agama dan budaya yang hidup di Indonesia.
Keenam. “Analisis Gender adalah perangkat untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan untuk memperoleh akses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan sesuai dengan kebutuhan masing-masing”.
Kritik: -dampak penerapan metode ini: kerja-kerja pembangunan hanya terfokus pada formalitas yang tidak prinsip. Sebab ada kalanya kebutuhan pembangunan tidak sejalan dengan kebutuhan “kesetaraan” gender. Misalnya dalam pembangunan jembatan, diantara akan terfokus pada: berapa orang perempuan yang terlibat sebagai tenaga kasar, tenaga ahli, perancang kebijakan, dll? Sejauhmana manfaat jembatan bagi perempuan?
Usulan alternatif: Analisis Gender adalah perangkat untuk mengidentifikasi dan menganalisis keserasian gender dalam memperoleh kesempatan untuk memperoleh akses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan sesuai dengan kebutuhan masing-masing, tanpa mengesampingkan norma-norma agama dan budaya yang ada.
Ketujuh. “Focal Point Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah aparat pemerintah baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai kemampuan dan berperan aktif mendorong pengarusutamaan gender di instansi dan/atau lembaga”.
Kritik: Perlu diperhatikan efektivitas lembaga ini. Sebab mau tidak mau akan menyedot perhatian, tenaga dan dana maksimal dari tingkat pusat sampai daerah untuk memenuhi formalitas pertimbangan jenis kelamin, sehingga kegiatan pembangunan yang lebih substantif akan terabaikan.
Usulan alternatif: jika memang benar-benar diperlukan Focal Point PUG hendaknya: a) selalu berkoordinasi dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat setempat. Sehingga kemunculan Focal Point PUG tidak menjadi masalah baru bagi masyarakat setempat. b) merevisi pemaknaan PUG seperti yang tersebut dalam usulan alternatif di atas.
Kedelapan. “Kelompok Kerja pengarusutamaan gender (Pokja PUG) adalah media konsultasi bagi pelaksana dan penggerak pengarusutamaan gender dari berbagai instansi dan/atau lembaga”.
Kritik: Peran dan tugas Pokja PUG tidak jauh berbeda dengan Focal point PUG, sehingga perlu dilebur menjadi satu lembaga saja.
Usulan alternatif: Tidak perlu dicantumkan sebagai landasan dan ketentuan umum RUU KKG
Kesembilan. “Anggaran Responsif Gender (ARG) adalah penganggaran yang meliputi perencanaan, alokasi anggaran, restrukturisasi pendapatan, dan pengeluaran untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pemenuhan hak dasar laki-laki dan perempuan”.
Kritik: Penyusunan ARG perlu diselaraskan dengan asas “Keserasian Gender” untuk menghindari konsep persamaan kuantitatif 50-50.
Usulan alternatif: Anggaran Responsif Gender (ARG) adalah penganggaran yang meliputi perencanaan, alokasi anggaran, restrukturisasi pendapatan, dan pengeluaran untuk mencapai keserasian gender melalui pemenuhan hak dasar laki-laki dan perempuan dengan berkoordinasi dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat setempat.
Penutup
Bagi penulis, Ketentuan Umum mempunyai peran sentral dalam menjiwai isi pasal-pasal yang terdapat dalam RUU KKG ini. Ketentuan Umum ibarat ruh dan pasal-pasal berikutnya adalah raga yang selalu dikoordinasikan langsung oleh ruh. Jika ayat-ayat dalam Ketentuan Umum tidak dirombak, dikhawatirkan ide-ide nyeleneh dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang dulu pernah dihasilkan Tim Kelompok Kerja Pengarusutaan Gender (Pokja PUG) bakal menyusup dalam RUU KKG. Semoga bangsa Indonesia semakin waspada dengan segala bentuk konspirasi jahat yang bermaksud menggoyang nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan budaya keindonesiaan yang berlandaskan norma keagamaan.*
Penulis aktif di MIUMI dan peneliti INSISTS. Saat ini sedang menulis disertasi tentang gender di Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya
Red: Cholis Akbar
No comments:
Post a Comment